Asal perlombaan adalah dibolehkan. Hal ini
dibuktikan dalam beberapa hadits dan juga klaim ijma’ (kesepakatan para ulama).
Apalagi jika lomba tersebut sebagai persiapan untuk jihad seperti lomba memanah
atau pacuan kuda, para ulama sepakat akan sunnahnya, bahkan hal ini adalah ijma’
(kesepakatan) mereka. Bahkan kadangkala hukum melakukan lomba memanah dan
pacuan kuda bisa jadi wajib (fardhu kifayah) di kala diwajibkannya
jihad.
Mengenai persiapan jihad, Allah Ta’ala
berfirman,
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ
مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi
mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat”
(QS. Al Anfal: 60). Yang dimaksud dengan kekuatan apa saja, ditafsirkan dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memanah (HR. Muslim no. 1917).
Namun perlu dipahami bahwa
perlombaan atau musabaqoh itu ada dua macam: dengan taruhan dan tanpa
taruhan.
Perlombaan Tanpa Taruhan
Hukum asalnya boleh berlomba tanpa
taruhan seperti lomba lari, perahu, balapan burung, keledai, gajah dan lomba
tombak. Pendapat jumhur (mayoritas ulama) membolehkan setiap perlombaan yang
tanpa taruhan secara mutlak.
Ibnu ‘Abidin –salah seorang ulama
Hanafiyah- berkata,
وَأَمَّا
السِّبَاقُ بِلَا جُعْلٍ فَيَجُوزُ فِي كُلِّ شَيْءٍ
“Adapun perlombaan tanpa taruhan,
itu boleh dalam berbagai macam bentuknya.” (Roddul Muhtar, 27: 20, Asy
Syamilah)
Ibnu Qudamah –ulama Hambali-
berkata,
وَالْمُسَابَقَةُ عَلَى ضَرْبَيْنِ ؛
مُسَابَقَةٌ بِغَيْرِ عِوَضٍ ، وَمُسَابَقَةٌ بِعِوَضٍ . فَأَمَّا الْمُسَابَقَةُ
بِغَيْرِ عِوَضٍ ، فَتَجُوزُ مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ تَقْيِيدٍ بِشَيْءٍ مُعَيَّنٍ
“Perlombaan itu ada dua macam:
perlombaan tanpa taruhan dan dengan taruhan. Adapun perlombaan tanpa taruhan,
itu boleh secara mutlak tanpa ada pengkhususan ada yang terlarang.” (Al Mughni,
11: 29)
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah
(15: 79) disebutkan,
فإن كانت المسابقة بغير جعل فتجوز من
غير تقييد بشيء معيّن
“Jika musabaqoh (perlombaan)
dilakukan tanpa adanya taruhan, itu boleh pada setiap bola tanpa pengkhususan.”
Dalil dari penjelasan di atas adalah
hadits dari ‘Aisyah di mana ia pernah berlomba lari bersama Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam tanpa adanya taruhan. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
beliau menceritakan bahwa,
أَنَّهَا كَانَتْ مَعَ النَّبِىِّ
-صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ قَالَتْ فَسَابَقْتُهُ فَسَبَقْتُهُ عَلَى
رِجْلَىَّ فَلَمَّا حَمَلْتُ اللَّحْمَ سَابَقْتُهُ فَسَبَقَنِى فَقَالَ « هَذِهِ
بِتِلْكَ السَّبْقَةِ ».
Ia pernah bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam safar. ‘Aisyah lantas berlomba lari bersama beliau
dan ia mengalahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala ‘Aisyah
sudah bertambah gemuk, ia berlomba lari lagi bersama Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam, namun kala itu ia kalah. Lantas Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini balasan untuk kekalahanku dahulu.” (HR.
Abu Daud no. 2578 dan Ahmad 6: 264. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih)
Penjelasan di atas adalah pendapat
jumhur atau mayoritas ulama. Ulama Hanafiyah memiliki pendapat yang sedikit
berbeda. Mereka memberi syarat lomba yang dibolehkan hanyalah pada empat lomba,
yaitu lomba pacuan kuda, pacuan unta dan memanah, ditambah lomba lari.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Huraihah, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ
خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ
“Tidak ada taruhan dalam lomba
kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan unta, dan pacuan kuda.” (HR.
Tirmidzi no. 1700, An Nasai no. 3585, Abu Daud no. 2574, Ibnu Majah no. 2878.
Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani). Mengenai dalil bolehnya lomba
lari diambil dari hadits ‘Aisyah yang telah disebutkan. Artinya, perlombaan
selain empat lomba yang telah disebutkan asalnya adalah haram menurut ulama
Hanafiyah. Dikeluarkan dari haram karena ada dalil pengecualian.
Perlombaan dengan Taruhan
Perlombaan dengan taruhan asalnya
masih dibolehkan. Namun yang dibolehkan di sini
adalah khusus pada lomba tertentu, tidak untuk setiap lomba. Jumhur
berpendapat tidak bolehnya lomba dengan taruhan selain pada lomba memanah,
pacuan kuda, dan pacuan unta. Demikian pula dikatakan oleh Az Zuhri.
Sedangkan ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa lomba hanya boleh dalam empat hal, yaitu lomba pacuan kuda,
pacuan unta, memanah dan lomba lari sebagaimana keterangan di atas.
Ulama Syafi’iyah meluaskan lagi
perlombaan yang dibolehkan dengan taruhan pada setiap lomba yang nanti berperan
serta dalam jihad. Adapun lomba adu ayam, burung, dan domba tidaklah termasuk
dalam hal ini dan jelas tidak dibolehkan karena bukan termasuk sarana untuk
jihad (Disarikan dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah). Imam Nawawi dalam Minhajul
Tholibin berkata, “Segala lomba yang mendukung peperangan (jihad) dibolehkan
dengan taruhan.”
Termasuk pula lomba yang dibolehkan
dengan taruhan adalah lomba hafalan Qur’an dan lomba ilmiah dalam agama.
Ibnul Qayyim rahimahullah
ditanya, “Apakah boleh melakukan perlombaan menghafal Al Qur’an, hadits, fikih
dan ilmu yang bermanfaat lainnya yang ditentukan manakah yang benar manakah
yang salah dan perlombaan tersebut menggunakan taruhan?”
Kata Ibnul Qayyim, “Pengikut Imam
Malik, Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i melarang hal tersebut. Sedangkan ulama
Hanafiyah membolehkannya. Guru kami, begitu pula Ibnu ‘Abdil Barr dari ulama
Syafi’iyah membolehkan hal ini. Perlombaan menghafal Qur’an tentu saja lebih
utama dari lomba berburu, bergulat, dan renang. Jika perlombaan-perlombaan tadi
dibolehkan, maka tentu saja perlombaan menghafal Al Qur’an (dengan taruhan)
lebih utama untuk dikatakan boleh.” (Al Furusiyah, Ibnul Qayyim, hal. 318)
Ibnul Qayyim di tempat lain berkata,
“Jika taruhan dibolehkan dalam memanah, pacuan kuda dan pacuan kita karena
terdapat dorongan untuk belajar pacuan dan sebagai persiapan untuk jihad, maka
tentu saja lomba dalam hal ilmu diin (agama) dan penyampaian hujjah padahal
dengan itu akan membuka hati dan memuliakan Islam, maka itu lebih layak
dibolehkan.” (Al Furusiyah, Ibnul Qayyim, hal. 97)
Bentuk Taruhan
Untuk lomba yang dibolehkan dengan
taruhan seperti yang disebutkan sebelumnya, ada syarat taruhan yang perlu diperhatikan,
yaitu:
- Taruhan harus jelas dalam hal jumlah dan sifat (ciri-ciri).
- Boleh taruhan dibayarkan saat lomba atau boleh sebagiannya ditunda (dicicil).
- Taruhan tersebut bisa jadi ditarik dari salah satu peserta dari dua peserta yang ikut lomba. Salah satunya mengatakan, “Jika engkau mengalahkan saya dalam lomba memanah, maka saya berkewajiban memberimu Rp.100.000”. Ini dibolehkan dan tidak ada khilaf di antara para ulama dalam pembolehan bentuk taruhan semacam ini. Namun ingat sekali lagi bentuk ini berlaku antara dua orang atau dua kelompok.
- Taruhan tersebut bisa pula ditarik dari pihak lain semisal dari imam yang diambil dari kas Negara (baitul maal). Karena lomba semacam ini jelas manfaatnya dan turut membantu dalam pembelajaran jihad sehingga bermanfaat luas bagi orang banyak.
Bisa pula taruhan tersebut berasal
dari iuran peserta (yang lebih dari dua peserta), seperti masing-masing
misalnya menyetorkan iuran awal sebesar Rp.100.000 dan hadiah untuk pemenang
akan ditarik dari iuran tersebut. Bentuk ketiga ini disebut rihan (taruhan).
Jumhur ulama tidak membolehkan taruhan semacam ini karena ada pihak yang rugi
dan ada yang beruntung. [Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 24: 128-129]
Taruhan yang Berbau Judi
Perlombaan selain yang disebutkan di
atas seperti perlombaan bola, balapan motor, perlombaan catur yang
menggunakan taruhan dengan dipungut dari iuran peserta, ini jelas terlarang
karena bukan bertujuan untuk menegakkan agama Allah atau jalan melatih untuk
berjihad. Bahkan perlombaan semacam itu termasuk dalam bentuk perjudian yang
jelas haramnya. Jelaslah bagaimana bentuk perjudian saat ini yang dikemas
dengan berbagai trik. Seperti lomba voli yang diikuti peserta dengan syarat
setiap peserta membayar uang pendaftaran Rp.100.000 lalu hadiahnya dipungut dari
uang pendaftaran tersebut, ini jelas masuk dalam judi.
Sedangkan taruhan yang dilakukan di
antara sesama penonton (misal dari para penonton pacuan kuda atau memanah),
tidak dibolehkan dalam perlombaan yang masuk kategori boleh dengan taruhan.
Karena yang boleh memakai taruhan di sini adalah sesama para peserta
sebagaimana penjelasan di atas.
Bahaya Judi
Hati-hatilah dengan judi, wahai
saudaraku! Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ
عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al
Maidah: 90)
Lihatlah permusuhan sesama muslim
bisa muncul akibat judi. Judi pun benar-benar telah memalingkan dari dzikrullah.
Sadarilah!
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ
يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ
وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
“Sesungguhnya syaitan itu
bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran
(meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS.
Al Maidah: 91)
Bahkan judi itu lebih berbahaya dari
riba. Sebagaimana Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
إنّ مفسدة الميسر أعظم من مفسدة
الرّبا لأنّه يشتمل على مفسدتين : مفسدة أكل المال بالحرام , ومفسدة اللّهو الحرام
, إذ يصد عن ذكر اللّه وعن الصّلاة ويوقع في العداوة والبغضاء , ولهذا حرّم الميسر
قبل تحريم الرّبا .
“Kerusakan maysir (di antara
bentuk maysir adalah judi) lebih berbahaya dari riba. Karena maysir
memiliki dua kerusakan: (1) memakan harta haram, (2) terjerumus dalam permainan
yang terlarang. Maysir benar-benar telah memalingkan seseorang dari
dzikrullah, dari shalat, juga mudah timbul permusuhan dan saling benci. Oleh
karena itu, maysir diharamkan sebelum riba.” (Dinukil dari Al Mawsu’ah
Al Fiqhiyyah, 39: 406)
Maysir yang disebutkan dalam ayat di atas sebenarnya lebih umum
dari judi. Kata Imam Malik rahimahullah, “Maysir ada dua macam:
(1) bentuk permainan seperti dadu, catur dan berbagai bentuk permainan
yang melalaikan, dan (2) bentuk perjudian, yaitu yang mengandung unsur
spekulasi atau untung-untungan di dalamnya.” Bahkan Al Qosim bin Muhammad bin
Abi Bakr memberikan jawaban lebih umum ketika ditanya mengenai apa itu maysir.
Jawaban beliau, “Setiap yang melalaikan dari dzikrullah (mengingat
Allah) dan dari shalat, itulah yang disebut maysir.” (Dinukil dari Al Mawsu’ah
Al Fiqhiyyah, 39: 406). Dari penjelasan Imam Malik menunjukkan ada permainan
yang terlarang yaitu catur
dan dadu. Dua permainan ini disebut maysir.
Demikian bahasan kami seputar hukum
taruhan. Moga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
http://rumaysho.com/hukum-islam/muamalah/3636-taruhan-dan-judi-dalam-lomba.html